Guru Bangil adalah seorang ulama yang alim dan tawadhu’. Keluasan dan
ketinggian ilmu beliau diakui, sehingga banyak orang yang belajar dan
menuntut ilmu dengan beliau, termasuk pula para kyai. Ketika hidup,
beliau menjadi referensi bagi para guru agama dan masyarakat dalam
memecahkan berbagai permasalahan keagamaan. Keilmuan dan kiprah
keagamaan beliau telah memberikan sumbangsih besar terhadap pembangunan
mental spiritual umat, tidak hanya di kota kelahiran beliau Martapura,
akan tetapi juga di Kota Bangil tempat Beliau menetap dan meninggal
dunia. Secara geneologis, Guru Bangil merupakan generasi ke-8 dari ulama
besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan salah seorang
guru dari ‘Alimul Fadhil Tuan Guru H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani
(Guru Sekumpul).
Guru Bangil yang bernama lengkap H. Muhammad Sjarwani Abdan bin H.
Muhammad Abdan bin H. Muhammad Yusuf bin H. Muhammad Shalih Siam bin H.
Ahmad bin H. Muhammad Thahir bin H. Syamsuddin bin Sa’idah binti Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari dilahirkan di Kampung Melayu Ilir Martapura.
Tidak diketahui secara pasti kapan tanggal kelahiran beliau, dari
beberapa catatan yang ada hanya dituliskan tahun kelahiran beliau, yakni
pada tahun 1915 M/1334 H.
Menurut silsilahnya, Guru Bangil merupakan zuriat ke-8 dari Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari, dari istri Al-Banjari yang kedua, yang
bernama Tuan Bidur. Moyang Guru Bangil yang bernama Sa’idah adalah anak
dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Tuan Bidur. Sa’idah memiliki
saudara tiga orang, yakni ‘Alimul ‘Allamah Qadhi H. Abu Su’ud,[3]
‘Alimul ‘Allamah Qadhi H. Abu Na’im, dan ‘Alimul ‘Allamah Khalifah H.
Syahabuddin.
Guru Bangil terlahir dari keluarga yang agamis dan dikenal luas oleh
masyarakat Martapura sebagai ‘keluarga alim’. Ayahnya bernama H.
Muhammad Abdan bin H. Muhammad Yusuf, sedangkan ibunya bernama Hj.
Mulik. Guru Bangil mempunyai 7 orang saudara kandung, nama-nama saudara
Guru Bangil tersebut adalah: H. Ali, Hj. Intan, Hj. Muntiara, Abd.
Razak, Husaini, Acil, dan H. Ahmad Ayub
Selain mempunyai saudara sekandung yang berjumlah 7 orang, Guru
Bangil juga mempunyai saudara seayah, di antaranya adalah Abd. Manan dan
H.M. Hasan.
Pendidikan keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama yang
dirasakan oleh Guru Bangil. Berdasarkan catatan H. Abu Daudi dalam
bukunya, “Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari: Tuan Haji Besar”,
sejak kecil Guru Bangil sudah dikenal sebagai seorang yang memiliki
himmah kuat untuk belajar dan menuntut ilmu, terutama ilmu agama.[4]
Beliau dikenal sebagai anak yang rajin dan tekun dalam belajar, sehingga
disayangi dan disenangi oleh guru-guru beliau. Terlebih-lebih beliau
berasal dari dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang agamis dan
“Serambi Mekkah”, Martapura.[5] Karena itu, di samping dididik dalam
lingkungan dan oleh keluarga, Guru Bangil juga mendapat didikan dan
mulai menyauk ilmu agama di Pesantren Darussalam Martapura[6] dan dari
sejumlah ulama besar yang hidup pada waktu itu, antara lain kepada
‘Alimul ‘Allamah Tuan Guru H. Kasyful Anwar bin H. Ismail, ‘Alimul
Fadhil Qadhi H.M. Thaha, dan ‘Alimul Fadhil H. Isma’il Khatib Dalam
Pagar, Martapura.
Beliau juga pernah belajar ilmu agama dengan Guru Mukhtar Khatib, di
mana menurut cerita yang berkembang, beliau belajar sambil mengayuh
jukung (perahu).[7]
Setelah cukup banyak belajar ilmu agama di Martapura, Guru Bangil
pada usia yang masih muda meninggalkan daerah asalnya Martapura menuju
pulau Jawa dan bermukim di kota Bangil, dengan satu tujuan memperdalam
ilmu agama Islam. Selama beberapa tahun di kota Bangil, beliau sempat
belajar dan berguru pada ulama-ulama terkenal di kota Bangil dan
Pasuruan antara lain K.H. Muhdor, K.H. Abu Hasan, K.H. Bajuri dan K.H.
Ahmad Jufri.
Pada sekitar usia 16 tahun Guru Bangil kemudian melanjutkan belajar
ilmu agama ke Tanah Suci Mekkah. Beliau berangkat bersama-sama dengan
saudara sepupu beliau ‘Alimul ‘Allamah H. Anang Sya’rani Arif[8] di
bawah pengawasan paman beliau ‘Alimul ‘Allamah H. Kasyful Anwar bin H.
Ismail, yang pada saat itu juga sedang bermukim di Mekkah. Selama di
Mekkah, Guru Bangil menuntut berbagai cabang ilmu agama dengan beberapa
orang guru, di antaranya adalah kepada ‘Alimul ‘Allamah Syekh Sayyid
Muhammad Amin Kutbi, Syekh Umar Hamdan, dan ‘Alimul ‘Allamah H. Muhammad
Ali bin Abdullah al-Banjari.[9] Di samping itu, Guru Bangil juga
belajar dan mengkaji ilmu kepada Syekh Sayyid Alwi al-Maliki, Syekh
Muhammad Arabi, Syekh Hasan Massyath, Syekh Abdullah Bukhori, Syekh
Saifullah Andagistani, Syekh Syafi’i Kedah, Syekh Sulaiman Ambon, dan
Syekh Ahyat Bogori.[10] Abu Nazla menambahkan bahwa selama di Mekkah,
Guru Bangil dan Guru Anang Sya’rani Arif juga belajar kepada Syekh Bakri
Syatha dan Syekh Muhammad Ali bin Husien al-Maliki.[11]
Selama mukim di Mekkah berbagai cabang ilmu agama telah dikaji dan
dipelajari oleh Guru Bangil. Banyak pula silsilah sanad, ilmu dan amal
yang beliau terima. Salah satu cabang ilmu yang menonjol yang dikuasai
oleh Guru Bangil adalah ilmu tasawuf. Di bidang ilmu tasawuf ini, Guru
Bangil telah menerima ijazah tarekat Naqsabandiyah dari ‘Alimul ‘Allamah
Syekh Umar Hamdan dan ijazah tarekat Sammaniyah dari ‘Alimul ‘Allamah
H. Muhammad Ali bin Abdullah al-Banjari.[12] Ijazah tarekat Idrisiyah
diterima dari ‘Alimul ‘Allamah Syafi”i bin Shalih al-Qadiri.[13]
Guru Bangil dikenal sebagai murid utama dan khalifah dari guru besar
bidang tasawuf, Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi untuk Tanah Jawa
(Indonesia). Dari Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi inilah Guru Bangil
banyak belajar dan mengkaji ilmu, khususnya tasawuf.[14] Tidak
mengherankan jika kemudian Guru Bangil menjadi seorang ulama yang wara,
tawadhu’, dan khumul, hapal Alquran serta menghimpun antara syariat,
tarekat, dan hakikat.[15]
Guru Bangil juga merupakan salah seorang guru tasawuf dari ‘Alimul
‘Allamah Tuan Guru H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau Guru
Sekumpul.[16] Guru Bangil Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif dikenal oleh
gurunya sebagai murid yang tekun dan menghabiskan waktunya untuk
menuntut ilmu agama. Guru-guru mereka sangat sayang karena melihat bakat
dan kecerdasan mereka berdua”. demikian yang tergambar dalam Manaqib
Guru Bangil berkenaan dengan semangat dan ketekunan dua saudara sepupu
tersebut dalam dan selama menuntut ilmu.[17] Bahkan, keadaan dan
ketekunan mereka berdua selama menuntut ilmu di Mekkah juga diibaratkan,
“Siang bercermin kitab dan malam bertongkat pensil”.[18] Sehingga wajar
jika kemudian dalam beberapa tahun saja mereka berdua mulai dikenal di
Kota Mekkah dan mendapat julukan “Dua Mutiara dari Banjar”. Bahkan
mereka berdua mendapat kepercayaan untuk mengajar selama beberapa tahun
di Masjidil Haram (Mekkah) atas bimbingan Syekh Sayid Muhammad Amin
kutbi.[19]
Guru Bangil di mata guru-gurunya memang dikenal sebagai seorang murid
yang cerdas, namun beliau sendiri tidak mau menampakkan kecerdasan
tersebut, beliau selalu sederhana dan bahkan merendahkan hati, sehingga
banyak orang yang tidak tahu tentang beliau. Cerita tentang kedatangan
beliau di Bangil dan tidak mau membuka pengajian karena penghormatan
terhadap ulama yang ada di sana merupakan bukti kuat bahwa beliau adalah
seorang yang tidak suka menyombongkan diri, sebaliknya bersikap hormat
dan selalu rendah hati. Bahkan untuk menutupi ketinggian ilmunya setelah
bertahun-tahun menuntut ilmu di Mekkah, selama tinggal di Bangil beliau
menutupi diri dengan menjadi pedagang. Beliau juga tidak merasa kecil
hati untuk belajar dan menuntut ilmu kepada para ulama yang ada di Kota
Bangil dan Pasuruan.
Menurut cerita salah seorang dari muridnya, dalam salah satu
tausiyahnya (agar tidak sombong) Guru Bangil juga pernah berkata dan
menyatakan bahwa beliau bukanlah orang cerdas sebagaimana yang
disangkakan orang, beliau hanya rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh
dalam belajar, menjaga etika belajar, hormat dengan guru dan tawakkal
kepada Allah.[20]
Guru Bangil adalah seorang yang pandai menyembunyikan diri (tidak
suka pamer, sombong, atau takabbur), walaupun memiliki ilmu agama yang
luas.[21] Selama menuntut ilmu di Mekkah mendapat julukan “mutiara dari
Banjar”, pernah mengajar di Masjidil Haram, namun beliau tetap rendah
hati dan sederhana, sehingga di awal-awal berdiamnya beliau di Kota
Bangil, banyak orang yang tidak mengetahui siapa beliau sebenarnya,
kecuali sesudah diberitahu oleh Kyai Hamid yang merupakan Kyai Sepuh di
Kota Pasuruan.
Setelah lebih kurang 10 tahun mukim dan menimba berbagai ilmu agama
di Mekkah, Guru Bangil kemudian kembali ke Martapura (Kampung Melayu
Ilir) pada tahun 1941 serta mengabdikan ilmu yang telah didapat untuk
masyarakat luas. Namun setelah kurang lebih berdiam selama 5 tahun di
Martapura, Guru Bangil kemudian pindah ke Kota Bangil pada tahun 1946
menyusul keluarganya yang telah terlebih dahulu berdiam di sana.
Di Kota Bangil inilah, Guru Bangil dikawinkan dengan Hj. Bintang
binti H. Abd. Aziz ketika berusia lebih dari 30 tahun. Hj. Bintang masih
terhitung dan memiliki hubungan keluarga dengan beliau, karena Hj.
Bintang adalah anak paman beliau, yang berarti saudara sepupu. Dari
perkawinannya dengan Hj. Bintang binti H. Abd. Aziz ini, Guru Bangil
mendapatkan beberapa orang anak, di antaranya: K.H. Kasyful Anwar,
Zarkoni, Abd. Basit, Malihah, dan Khalwani.
Setelah isteri beliau yang pertama (Hj. Bintang) meninggal dunia,
beliau kemudian kawin lagi dengan Hj. Gusti Maimunah dan dari
perkawinannya dengan Hj. Gusti Maimunah ini beliau mendapatlan beberapa
orang anak lagi, di antaranya adalah Hj. Imil, Noval, Didi, Yuyun, dan
Mahdi
Isteri beliau yang ketiga adalah Hj. Fauziah. Dari perkawinan dengan
Hj. Fauziah ini, beliau mendapatkan beberapa orang anak pula, di
antaranya adalah M. Rusydi, Abd. Haris, dan Busra.[22] Menurut
keterangan Ustadz H. Mulkani jumlah anak beliau keseluruhan adalah 28
orang.[23]
H. Kasyful Anwar, anak Guru Bangil yang tertua adalah generasi
penerus dalam melaksanakan aktivitas pendidikan dan dakwah serta
pengelolaan Pondok Pesantren Datu Kalampayan di Kota Bangil hingga
sekarang ini. Di samping itu beliau juga tercatat sebagai seorang dosen
tetap pada Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Setelah lebih kurang 10 tahun mukim dan menimba berbagai ilmu agama
di Mekkah, Guru Bangil kemudian kembali ke Martapura (Kampung Melayu
Ilir) pada tahun 1941 serta mengabdikan ilmu yang telah didapat untuk
masyarakat luas. Namun setelah kurang lebih berdiam selama 5 tahun di
Martapura, Guru Bangil kemudian pindah ke Kota Bangil pada tahun 1946
menyusul keluarga yang telah terlebih dahulu berdiam di sana.
Sebelum beliau bepergian ke Bangil (dalam tahun 1945/1946), beliau
sempat mengajar di Madrasah Al-Istiqamah Dalam Pagar Martapura,[25]
namun pengabdian Guru Bangil di Madrasah Al-Istiqamah Dalam Pagar ini
tidak lama, karena pada tahun 1946 beliau kemudian pindah dan hijrah ke
Bangil, menyusul keluarga yang telah lama berdiam di sana.
Setelah beberapa tahun berdiam di kota Bangil, Guru Bangil mulai
mengajar dan mengabdikan ilmunya secara luas kepada masyarakat setelah
mendapatkan restu dari Kyai Hamid Pasuruan yang merupakan ulama Sepuh
pada waktu itu.[26] Di samping muthala’ah dan membuka pengajian, Guru
Bangil juga mendirikan pondok pesantren untuk ‘kaji duduk’ ilmu-ilmu
agama yang diberi nama Pondok Pesantren “Datuk Kalampayan” pada tahun
1970. Santri-santrinya kebanyakan berasal dari Kalimantan, terutama dari
Kalimantan Selatan.[27]
Pondok Pesantren tersebut langsung ditangani sendiri oleh Guru
Bangil. Beliau juga aktif dan tanpa kenal lelah mengajarkan ilmu kepada
para santri, sekalipun dalam keadaan sakit. Malam hari pun diisi dengan
berbagai kegiatan amaliyah, halaqah, dan muthala’ah. Sehingga, banyak
para santri beliau yang kemudian menjadi orang alim dan tersebar
diberbagai daerah, baik di Kalimantan, Jawa, Sumatera, dan lain-lain
untuk meneruskan perjuangan Islam. Di antara santri/murid-murid beliau
tersebut adalah:
1. ’Alimul ‘Allamah Tuan Guru H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani Sekumpul Martapura, Pendiri Majelis Taklim Ar-Raudhah Sekumpul.
2. K.H. Prof. Dr. Ahmad Sjarwani Zuhri, Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Balikpapan.
3. K.H. Muhammad Syukri Unus, Pimpinan Majelis Taklim Sabilal Anwar al-Mubarak, Martapura.
4. K.H. Zaini Tarsyid, Pengasuh Majelis Taklim Salafus Shaleh Tunggul
Irang Seberang, Martapura (selain sebagai murid, K.H. Zaini Tarsyid
juga merupakan anak menantu Guru Bangil).
5. K.H. Ibrahim bin K.H. Muhammad Aini (Guru Ayan), Rantau.
6. K.H. Ahmad Bakri (Guru Bakri), Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mursyidul Amin, Gambut.
7. K.H. Asmuni (Guru Danau), Pengasuh Pondok Pesantren Darul Aman, Danau Panggang, Amuntai.
8. K.H. Sayfi’i Luqman, Tulungagung (Jawa Timur).
9. K.H. Abrar Dahlan, Pimpinan Pondok Pesantren di Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.
10. K.H. Muhammad Safwan Zahri, Pimpinan Pondok Pesantren Sabilut
Taqwa, Handil 6, Muara Jawa, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Waktu beliau banyak dihabiskan untuk mengajar, muthala’ah, dan
ibadah. Sewaktu berdiam di Martapura, sekembali dari Kota Mekkah
al-Mukarramah, Guru Bangil pernah ditawari untuk menduduki jabatan Qadhi
di Martapura, namun jabatan tersebut beliau tolak. Beliau lebih senang
berkhidmat secara mandiri dalam dunia pendidikan, dakwah, dan syiar
Islam, di mana, muthala’ah, halaqah dakwah, ta’lim (mengajar), dan
menulis (menghimpun) risalah menjadi aktivitas rutin beliau sehari-hari.
Dalam mengajar Guru Bangil biasanya tidak panjang lebar menjabarkan
dan menjelaskan suatu permasalahan, beliau hanya menyampaikan apa yang
ada dalam kitab dan telah dibahas secara panjang lebar oleh ulama
penulis kitab. Sehingga, ketika ada yang bertanya atau mengajukan suatu
permasalahan, beliau menjawabnya tidak dengan pendapatnya sendiri,
tetapi beliau tunjukkan dan mengutip dari pendapat para ulama dengan
menyebutkan kitab-kitabnya.
Guru Bangil juga aktif menulis berbagai risalah agama berupa
pelajaran dan pedoman praktis dalam memantapkan keyakinan dan amaliah
beragama masyarakat. Satu di antara risalah beliau yang sangat terkenal,
dicetak, dan beredar secara luas di tengah-tengah masyarakat adalah
buku yang berjudul Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah.
Risalah ini berisi pembahasan tentang masalah talqin, tahlil, dan
tawassul.
Guru Bangil tidak mau karya tulis beliau diperjual-belikan, itulah
sebabnya beberapa risalah yang beliau himpun hanya ditulis dan beredar
secara terbatas, karena tidak dicetak. Buku Al-Dzakhirat al-Tsaminah li
Ahli al-Istiqamah yang tersebar secara luas itupun beliau izinkan untuk
dicetak atas amal jariyah seorang donator, sehingga dibagikan secara
gratis kepada masyarakat.
Menurut santri-santrinya, Guru Bangil adalah sosok seorang guru yang
bisa memahami dengan baik kemampuan, karakter dan bakat
santri-santrinya. Sehingga mereka merasa dididik sesuai dengan kemampuan
mereka masing-masing.
Di samping menguasai ilmu pengetahuan agama yang dalam, Guru Bangil
juga mempunyai keahlian ilmu bela diri (silat). Keahlian dalam ilmu bela
diri ini juga Beliau ajarkan kepada santri-santrinya sebagai bekal bagi
mereka untuk berdakwah melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Salah seorang
santri beliau yang mewarisi dengan baik ilmu bela diri ini adalah
(alm.) Guru Masdar Balikpapan.[28]
Sebagai seorang ulama, beliau mampu memberikan solusi dan sekaligus
memecahkan masalah di masyarakat beliau. Hal ini terbukti ketika
masyarakat hendak memperluas bangunan masjid di Kota Bangil yang tidak
mencukupi lagi untuk menampung jamaah. Sementara, ada kendala atau
permasalahan yang membuat ulama-ulama dan tokoh masyarakat Bangil pada
waktu itu bingung mencari solusinya, karena areal tanah yang hendak
dijadikan perluasan masjid terdapat kuburan. Maka, masyarakat pun
akhirnya mereka meminta pendapat dan pemikiran Guru Bangil berkenaan
dengan masalah tersebut, apakah masjid bisa diperluas walaupun di atas
tanah bekas kuburan atau bagaimana? Dengan berpedoman kepada pendapat
para ulama terdahulu Guru Bangil membolehkan. Sehingga, berdasarkan
pendapat Guru Bangil, masalah tersebut akhirnya dapat terpecahkan,
sehingga perluasan pembangunan masjid Bangil pun dapat diteruskan.[29]
Dalam masalah kehidupan Guru Bangil dikenal sebagai seorang ulama
yang sangat zuhud. Beliau pernah diberi hadiah mobil dan rumah mewah,
tetapi semua itu ditolak beliau. Sampai meninggal dunia beliau tidak
meninggalkan harta kepada anak cucu beliau. Beliau sangat hati-hati
dalam hal-hal keduniawian.[30]
Guru Bangil tidak mau ikut-ikutan atau terjun ke dunia politik.
Itulah sebabnya beliau mau masuk dan menjadi anggota partai politik
walaupun banyak yang mengajak. Guru Bangil pernah menjadi salah seorang
Muhtasyar Nahdlatul Ulama (NU) Kota Bangil, namun ketika NU telah
menegaskan arah dan tujuan organisasinya untuk khittah (kembali) ke
dasar organisasi ketika organisasi ini didirikan (pada tahun 1926) dan
tidak lagi sebagai partai politik.[31]
Menurut Ustadz Subki, Guru Bangil alim dan menguasai secara mendalam
14 cabang ilmu (fan) dari ilmu-ilmu agama. Ilmu-ilmu yang beliau kuasai
tersebut terutama bidang fikih, hadits, ilmu hadits, ulumul Qur’an,
tafsir, dan tasawuf.[32]
Dalam usia muda (di bawah 40 tahun) Guru Bangil banyak menggeluti
ilmu fikih, tetapi pada usia 40 tahun ke atas beliau banyak bergelut di
bidang tasawuf. Tasawuf yang banyak beliau pelajari adalah tasawuf
Al-Ghazali.[33]
Dalam bidang hadits, beliau sangat hati-hati dalam menggunakan sebuah
hadits sebagai dalil, dilihat dulu bagaimana keshahihan hadits
tersebut. Begitu juga dalam menyampaikan suatu hadits, beliau sangat
hati-hati dan penuh adab. Beliau tidak setuju kalau pidato di lapangan
terbuka dengan membacakan atau menggunakan ayat Alquran maupun hadits,
padahal tidak tepat dengan konteksnya.[34]
Dalam bidang fikih Guru Bangil juga sangat alim. Kealiman Beliau
dalam bidang fikih ini diakui oleh Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif.
Sehingga, ketika ada orang yang bertanya masalah fikih kepada Tuan Guru
H. Anang Sya’rani Arif, beliau menyuruh orang tersebut untuk
menanyakannya langsung kepada Guru Bangil. Guru Bangil pernah
memperdalam fikih dengan Syekh Ahyat al-Bogori.[35]
Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah (Simpanan Berharga,
Masalah Talqin, tahlil dan Tawassul) adalah salah satu karya tulis Guru
Bangil yang paling populer, karena pembahasan yang ada di dalamnya. Buku
ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1967 dan telah dicetak serta
diterbitkan secara berulang kali oleh penerbit. Buku ini tersebar luas
di tengah-tengah masyarakat Islam diberbagai daerah dan dicetak atas
biaya dari para donator, sehingga dibagikan secara gratis kepada
masyarakat luas. Karena, Guru Bangil tidak mau karya beliau ini
diperjual belikan. Buku ini juga pernah berhenti dicetak karena ada
oknum yang memperjualbelikannya untuk mengambil keuntungan pribadi.
Buku yang berjudul Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah ini
ditulis oleh Guru Bangil atas permintaan masyarakat Bangil karena adanya
pernyataan-pernyataan dari tokoh-tokoh muda pemikir agama yang
kontradiktif dengan pemahaman keagamaan masyarakat pada waktu itu, dan
sering menganggap mudah (remeh) urusan agama, sehingga menimbulkan
pertanyaan dan perbedaan pendapat di kalangan masyarakat. Hal ini
terlihat di dalam tulisan beliau yang tertera di bagian penutup buku
tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, Tuan Guru H. Muhammad Sjarwani Abdan yang
dikenal luas oleh masyarakat Banjar dan Bangil khususnya sebagai
seorang ulama yang memberikan sumbangsih besar terhadap pembangunan
mental spiritual umat melalui keilmuan dan kiprah keagamaan selama
beliau hidup. Aktivitas beliau yang tidak jauh dari rutinitas ibadah,
muthala’ah, halaqah, dakwah, ta’lim, dan menulis risalah bimbingan
keagamaan untuk masyarakat serta mendirikan Pondok Pesantren Datuk
Kalampayan di Bangil memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
kegiatan amal ibadahn dan keagamaan masyarakat.
Berkenaan dengan hadits, beliau sangat hati-hati dalam menggunakan
sebuah hadits sebagai dalil, dilihat dulu bagaimana keshahihan hadits
tersebut. Begitu juga dalam menyampaikan hadits, beliau sangat hati-hati
dan penuh adab. Dalam bidang fikih Guru Bangil juga sangat alim.
Kealiman Beliau dalam bidang fikih ini diakui oleh ‘Alimul ;Allamah Tuan
Guru H. Anang Sya’rani Arif. Ketika ada orang yang bertanya masalah
fikih kepada Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif, maka beliau menyuruh
orang itu untuk menanyakannya kepada Guru Bangil. Dalam masalah
kehidupan Guru Bangil dikenal sebagai seorang ulama yang sangat zuhud.
Beliau pernah diberi hadiah mobil dan rumah mewah, tetapi semua itu
ditolak beliau. Sampai meninggal dunia beliau tidak mewariskan harta
kepada anak cucu beliau.
Al- Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah (Simpanan Berharga,
Masalah Talqin, tahlil dan Tawassul) adalah salah satu karya tulis Guru
Bangil yang paling populer. Buku ini ditulis beliau atas permintaan
masyarakat Bangil karena adanya pernyataan-pernyataan para pemikir muda
yang kontradiktif (berlawanan) dengan pemahaman keagamaan masyarakat
pada waktu. Menurut beliau, talqin, bacaan, doa dan sedekah untuk mayit
serta tawassul diperbolehkan dan tidak bertentangan dengan syariat Islam
asalkan sesuai dengan kaedah yang dicontohkan oleh ulama.http://jaybanjarie.wordpress.com