Unknown
Pangeran Syarif Ali Al aydrus adalah kepala pemerintahan landshap Sabamban yang sering disebut juga Kerajaan Sabamban (ke pangeranan Sebamban), salah satu daerah yang termasuk wilayah pemerintahan Hindia Belanda di Borneo Timur (sekarang termasuk wilayah provinsi Kalimantan Selatan) Kepala pemerintahaan Sabamban bergelar Pangeran (bukan Sultan). Di wilayah Kalimantan Tenggara tersebut terdapat terdapat pula Kerajaan Pagatan, Kerajaan Kusan dan Kerajaan Pasir yang statusnya daerahnya setara tetapi sedikit lebih tinggi (kerajaan). Daerah-daerah di Kalimantan Tenggara tersebut pada 17 Agustus 1787 merupakan daerah yang diserahkan Sultan Tahmidullah II kepada VOC diwakili Residen Walbeck kemudian menjadi properti milik perusahaan VOC, selanjutkan menjadi milik Hindia Belanda yang menggantikan VOC. Pangeran Syarif Ali mengepalai daerah Sebamban dengan berpenduduk sekitar 250 jiwa, tidak termasuk para penambang, kebanyakan orang Banjar dan beberapa orang Bugis. Daerah Sebamban ini menghasilkan intan, emas, batubara, beras, dan kayu.
Syarif Ali Alaydrus adalah cucu dari Raja (Tuan Besar) Kubu - Syarif Idrus Alaydrus, pada awalnya menetap di daerah Kubu, Kalimantan Barat (bersama keluarga bangsawan Kerajaan Kubu).
Pada masa itu Beliau telah memiliki satu istri dan berputra dua orang yaitu : Syarif Abubakar Alaydrus dan Syarif Hasan Alaydrus. Karena ada suatu konflik kekeluargaan, akhirnya Syarif Ali Alaydrus memutuskan untuk hijrah ke Kalimantan Selatan dengan meninggalkan istri dan kedua putranya yang masih tinggal di Kerajaan Kubu, melalui sepanjang pesisir selatan Kalimantan hingga sampai di daerah Banjar.

Di daerah Banjar tersebut, beliau mendirikan Kerajaan Sabamban dan menjadi Raja yang Pertama, bergelar Pangeran Syarif Ali Al-Idrus. Pada saat beliau menjadi Raja Sabamban ini, beliau menikah lagi dengan 3 (tiga) wanita; Yang pertama Putri dari Sultan Adam dari Kesultanan Banjar di Kalimantan Selatan, yang Kedua dari Bugis (Putri dari Sultan Bugis di Sulwesi Selatan), yang ketiga dari Bone (Putri dari Sultan Bone di Sulawesi Selatan). Pada saat beliau telah menjabat sebagai Sultan Sabamban inilah, kedua putra beliau dari Istri Pertama di Kubu, Kalimantan Barat yaitu Syarif Abubakar Alaydrus dan Syarif Hasan Alaydrus menyusul Beliau ke Angsana, Tanah Bumbu (Kesultanan Sabamban), dan menetap bersama Ayahandanya.

Keturunan

Dari Ketiga istri beliau di Banjar-Kalimantan Selatan serta satu Istri beliau di Kubu-Kalimantan Barat tersebut, Pangeran Syarif Ali memiliki 12 (duabelas) putra. Putra-putra beliau yaitu : Dari Istri Pertama (Kubu-Kalimantan Barat) :

Syarif Hasan bin Pangeran Syarif Ali Al-Idrus, putra beliau : Sultan Syarif Qasim Alaydrus, Raja II Sabamban menjabat sebagai Raja setelah sepeninggal Kakeknya yaitu Pangeran Syarif Ali bin Syarif Abdurrahman Al-Idrus, hingga akhirnya Kerajaan Sabamban ini hilang dari bumi Kalimantan Selatan.
Syarif Abubakar bin Pangeran Syarif Ali Al-Idrus

Dari Istri ke-dua, Putri Kesultanan Banjar, Istri ke-tiga (Putri Sultan Bugis) dan Istri ke-empat (Putri Sultan Bone), menurunkan putra-putra beliau :

Syarif Musthafa bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus,
Syarif Thaha bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus,
Syarif Hamid bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus
Syarif Ahmad bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus
Syarif Muhammad bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus
Syarif Umar bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus
Syarif Thohir bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus
Syarif Shalih bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus
Syarif Utsman bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus dan
Syarif Husein bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus.

Setelah wafatnya Sultan Syarif Ali Al-Idrus, Jabatan Sultan tidak diteruskan oleh putra-putra beliau, akan tetapi yang menjadi Sultan II Sabamban adalah justru cucu beliau yaitu Sultan Syarif Qasim Al-Idrus, putra dari Syarif Hasan (Syarif Hasan adalah putra Sultan Syarif Ali Al-Idrus dari Istri Pertama/Kubu, waktu Syarif Ali masih menetap di Kubu-Kalimantan Barat).

Jadi sepanjang sejarahnya, Kesultanan Sabamban ini hanya dijabat oleh dua Sultan saja, yaitu pendirinya Sultan Syarif Ali Al-Idrus sebagai Sultan I dan cucu beliau sebagai Sultan II Sabamban yaitu Sultan Syarif Qasim Al-Idrus.

Sementara itu, setelah tidak adanya lagi Kesultanan Sabamban tersebut, anak-cucu keluarga bangsawan dari keturunan Sultan Syarif Ali Al-Idrus ini, menyebar ke seluruh wilayah Kalimantan Selatan pada umumnya dan ada yang hijrah ke Malaysia, Filipina, pulau Jawa dan di belahan lain Nusantara hingga saat ini
~http://www.facebook.com/Kisah.Para.DatudanUlama.Kalimantan
~http://aladamyarrantawie.blogspot.com/
Unknown
Ya Allah, jika aku jatuh cinta, cintakanlah aku pada seseorang yang melabuhkan cintanya pada-Mu, agar bertambah kekuatanku untuk mencintaimu Ya Allah, jika aku jatuh cinta, jagalah cintaku padanya agar tidak melebihi cintaku pada-Mu, Ya Allah, jika aku jatuh hati, izinkanlah aku menyentuh hati seseorang yang hatinya tertaut pada-MU, agar tidak terjatuh aku dalam jurang cinta semu. Ya Rabbana, jika aku jatuh hati, jagalah hatiku padanya agar tidak berpaling dari hati-Mu. Ya Rabbul Izzati, jika aku rindu, rindukanlah aku pada seseorang yang merindui syahid di jalan-Mu. Ya Allah, jika aku rindu, jagalah rinduku padanya agar tidak lalai aku merindukan syurga-Mu. Ya Allah, jika aku menikmati cinta kekasih-Mu, janganlah kenikmatan itu melebihi kenikmatan indahnya bermunajat di sepertiga malam terakhirmu. Ya Allah, jika aku jatuh hati pada kekasih-Mu, jangan biarkan aku tertatih dan terjatuh dalam perjalanan panjang menyeru manusia kepada-Mu. Ya Allah, jika kau halalkan aku merindui kekasih-mu, jangan biarkan aku melampaui batas sehinggah melupakan aku pada cinta hakiki dan rindu abadi hanya kepada-Mu. Ya Allah Engkau mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa pada taat pada-Mu, telah bersatu dalam dakwa-Mu, telah berpadu dalam membela syariat-Mu. Kukuhkanlah Ya Allah ikatannya. kekalkanlah cintanya. Tunjukilah jalan-jalannya. Penuhilah hati-hati ini Dengan Nur-Mu yang tiada pernah pudar. Lapangkanlah dada-dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan bertawakal di jalan-Mu
Unknown
Bila tak kunyatakan keindahan-Mu dalam kata,
Kusimpan kasih-Mu dalam dada.
Bila kucium harum mawar tanpa cinta-Mu,
Segera saja bagai duri bakarlah aku.
Meskipun aku diam tenang bagai ikan,
Tapi aku gelisah pula bagai ombak dalam lautan
Kau yang telah menutup rapat bibirku,
Tariklah misaiku ke dekat-Mu.
Apakah maksud-Mu?
Mana kutahu?
Aku hanya tahu bahwa aku siap dalam iringan ini selalu.
Kukunyah lagi mamahan kepedihan mengenangmu,
Bagai unta memahah biak makanannya,
Dan bagai unta yang geram mulutku berbusa.
Meskipun aku tinggal tersembunyi dan tidak bicara,
Di hadirat Kasih aku jelas dan nyata.
Aku bagai benih di bawah tanah,
Aku menanti tanda musim semi.
Hingga tanpa nafasku sendiri aku dapat bernafas wangi,
Dan tanpa kepalaku sendiri aku dapat membelai kepala lagi.
Unknown
Guru Bangil adalah seorang ulama yang alim dan tawadhu’. Keluasan dan ketinggian ilmu beliau diakui, sehingga banyak orang yang belajar dan menuntut ilmu dengan beliau, termasuk pula para kyai. Ketika hidup, beliau menjadi referensi bagi para guru agama dan masyarakat dalam memecahkan berbagai permasalahan keagamaan. Keilmuan dan kiprah keagamaan beliau telah memberikan sumbangsih besar terhadap pembangunan mental spiritual umat, tidak hanya di kota kelahiran beliau Martapura, akan tetapi juga di Kota Bangil tempat Beliau menetap dan meninggal dunia. Secara geneologis, Guru Bangil merupakan generasi ke-8 dari ulama besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan salah seorang guru dari ‘Alimul Fadhil Tuan Guru H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani (Guru Sekumpul).
Guru Bangil yang bernama lengkap H. Muhammad Sjarwani Abdan bin H. Muhammad Abdan bin H. Muhammad Yusuf bin H. Muhammad Shalih Siam bin H. Ahmad bin H. Muhammad Thahir bin H. Syamsuddin bin Sa’idah binti Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dilahirkan di Kampung Melayu Ilir Martapura. Tidak diketahui secara pasti kapan tanggal kelahiran beliau, dari beberapa catatan yang ada hanya dituliskan tahun kelahiran beliau, yakni pada tahun 1915 M/1334 H.
Menurut silsilahnya, Guru Bangil merupakan zuriat ke-8 dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, dari istri Al-Banjari yang kedua, yang bernama Tuan Bidur. Moyang Guru Bangil yang bernama Sa’idah adalah anak dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Tuan Bidur. Sa’idah memiliki saudara tiga orang, yakni ‘Alimul ‘Allamah Qadhi H. Abu Su’ud,[3] ‘Alimul ‘Allamah Qadhi H. Abu Na’im, dan ‘Alimul ‘Allamah Khalifah H. Syahabuddin.
Guru Bangil terlahir dari keluarga yang agamis dan dikenal luas oleh masyarakat Martapura sebagai ‘keluarga alim’. Ayahnya bernama H. Muhammad Abdan bin H. Muhammad Yusuf, sedangkan ibunya bernama Hj. Mulik. Guru Bangil mempunyai 7 orang saudara kandung, nama-nama saudara Guru Bangil tersebut adalah: H. Ali, Hj. Intan, Hj. Muntiara, Abd. Razak, Husaini, Acil, dan H. Ahmad Ayub
Selain mempunyai saudara sekandung yang berjumlah 7 orang, Guru Bangil juga mempunyai saudara seayah, di antaranya adalah Abd. Manan dan H.M. Hasan.
Pendidikan keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama yang dirasakan oleh Guru Bangil. Berdasarkan catatan H. Abu Daudi dalam bukunya, “Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari: Tuan Haji Besar”, sejak kecil Guru Bangil sudah dikenal sebagai seorang yang memiliki himmah kuat untuk belajar dan menuntut ilmu, terutama ilmu agama.[4] Beliau dikenal sebagai anak yang rajin dan tekun dalam belajar, sehingga disayangi dan disenangi oleh guru-guru beliau. Terlebih-lebih beliau berasal dari dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang agamis dan “Serambi Mekkah”, Martapura.[5] Karena itu, di samping dididik dalam lingkungan dan oleh keluarga, Guru Bangil juga mendapat didikan dan mulai menyauk ilmu agama di Pesantren Darussalam Martapura[6] dan dari sejumlah ulama besar yang hidup pada waktu itu, antara lain kepada ‘Alimul ‘Allamah Tuan Guru H. Kasyful Anwar bin H. Ismail, ‘Alimul Fadhil Qadhi H.M. Thaha, dan ‘Alimul Fadhil H. Isma’il Khatib Dalam Pagar, Martapura.
Beliau juga pernah belajar ilmu agama dengan Guru Mukhtar Khatib, di mana menurut cerita yang berkembang, beliau belajar sambil mengayuh jukung (perahu).[7]
Setelah cukup banyak belajar ilmu agama di Martapura, Guru Bangil pada usia yang masih muda meninggalkan daerah asalnya Martapura menuju pulau Jawa dan bermukim di kota Bangil, dengan satu tujuan memperdalam ilmu agama Islam. Selama beberapa tahun di kota Bangil, beliau sempat belajar dan berguru pada ulama-ulama terkenal di kota Bangil dan Pasuruan antara lain K.H. Muhdor, K.H. Abu Hasan, K.H. Bajuri dan K.H. Ahmad Jufri.
Pada sekitar usia 16 tahun Guru Bangil kemudian melanjutkan belajar ilmu agama ke Tanah Suci Mekkah. Beliau berangkat bersama-sama dengan saudara sepupu beliau ‘Alimul ‘Allamah H. Anang Sya’rani Arif[8] di bawah pengawasan paman beliau ‘Alimul ‘Allamah H. Kasyful Anwar bin H. Ismail, yang pada saat itu juga sedang bermukim di Mekkah. Selama di Mekkah, Guru Bangil menuntut berbagai cabang ilmu agama dengan beberapa orang guru, di antaranya adalah kepada ‘Alimul ‘Allamah Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi, Syekh Umar Hamdan, dan ‘Alimul ‘Allamah H. Muhammad Ali bin Abdullah al-Banjari.[9] Di samping itu, Guru Bangil juga belajar dan mengkaji ilmu kepada Syekh Sayyid Alwi al-Maliki, Syekh Muhammad Arabi, Syekh Hasan Massyath, Syekh Abdullah Bukhori, Syekh Saifullah Andagistani, Syekh Syafi’i Kedah, Syekh Sulaiman Ambon, dan Syekh Ahyat Bogori.[10] Abu Nazla menambahkan bahwa selama di Mekkah, Guru Bangil dan Guru Anang Sya’rani Arif juga belajar kepada Syekh Bakri Syatha dan Syekh Muhammad Ali bin Husien al-Maliki.[11]
Selama mukim di Mekkah berbagai cabang ilmu agama telah dikaji dan dipelajari oleh Guru Bangil. Banyak pula silsilah sanad, ilmu dan amal yang beliau terima. Salah satu cabang ilmu yang menonjol yang dikuasai oleh Guru Bangil adalah ilmu tasawuf. Di bidang ilmu tasawuf ini, Guru Bangil telah menerima ijazah tarekat Naqsabandiyah dari ‘Alimul ‘Allamah Syekh Umar Hamdan dan ijazah tarekat Sammaniyah dari ‘Alimul ‘Allamah H. Muhammad Ali bin Abdullah al-Banjari.[12] Ijazah tarekat Idrisiyah diterima dari ‘Alimul ‘Allamah Syafi”i bin Shalih al-Qadiri.[13]
Guru Bangil dikenal sebagai murid utama dan khalifah dari guru besar bidang tasawuf, Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi untuk Tanah Jawa (Indonesia). Dari Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi inilah Guru Bangil banyak belajar dan mengkaji ilmu, khususnya tasawuf.[14] Tidak mengherankan jika kemudian Guru Bangil menjadi seorang ulama yang wara, tawadhu’, dan khumul, hapal Alquran serta menghimpun antara syariat, tarekat, dan hakikat.[15]
Guru Bangil juga merupakan salah seorang guru tasawuf dari ‘Alimul ‘Allamah Tuan Guru H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau Guru Sekumpul.[16] Guru Bangil Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif dikenal oleh gurunya sebagai murid yang tekun dan menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu agama. Guru-guru mereka sangat sayang karena melihat bakat dan kecerdasan mereka berdua”. demikian yang tergambar dalam Manaqib Guru Bangil berkenaan dengan semangat dan ketekunan dua saudara sepupu tersebut dalam dan selama menuntut ilmu.[17] Bahkan, keadaan dan ketekunan mereka berdua selama menuntut ilmu di Mekkah juga diibaratkan, “Siang bercermin kitab dan malam bertongkat pensil”.[18] Sehingga wajar jika kemudian dalam beberapa tahun saja mereka berdua mulai dikenal di Kota Mekkah dan mendapat julukan “Dua Mutiara dari Banjar”. Bahkan mereka berdua mendapat kepercayaan untuk mengajar selama beberapa tahun di Masjidil Haram (Mekkah) atas bimbingan Syekh Sayid Muhammad Amin kutbi.[19]
Guru Bangil di mata guru-gurunya memang dikenal sebagai seorang murid yang cerdas, namun beliau sendiri tidak mau menampakkan kecerdasan tersebut, beliau selalu sederhana dan bahkan merendahkan hati, sehingga banyak orang yang tidak tahu tentang beliau. Cerita tentang kedatangan beliau di Bangil dan tidak mau membuka pengajian karena penghormatan terhadap ulama yang ada di sana merupakan bukti kuat bahwa beliau adalah seorang yang tidak suka menyombongkan diri, sebaliknya bersikap hormat dan selalu rendah hati. Bahkan untuk menutupi ketinggian ilmunya setelah bertahun-tahun menuntut ilmu di Mekkah, selama tinggal di Bangil beliau menutupi diri dengan menjadi pedagang. Beliau juga tidak merasa kecil hati untuk belajar dan menuntut ilmu kepada para ulama yang ada di Kota Bangil dan Pasuruan.
Menurut cerita salah seorang dari muridnya, dalam salah satu tausiyahnya (agar tidak sombong) Guru Bangil juga pernah berkata dan menyatakan bahwa beliau bukanlah orang cerdas sebagaimana yang disangkakan orang, beliau hanya rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh dalam belajar, menjaga etika belajar, hormat dengan guru dan tawakkal kepada Allah.[20]
Guru Bangil adalah seorang yang pandai menyembunyikan diri (tidak suka pamer, sombong, atau takabbur), walaupun memiliki ilmu agama yang luas.[21] Selama menuntut ilmu di Mekkah mendapat julukan “mutiara dari Banjar”, pernah mengajar di Masjidil Haram, namun beliau tetap rendah hati dan sederhana, sehingga di awal-awal berdiamnya beliau di Kota Bangil, banyak orang yang tidak mengetahui siapa beliau sebenarnya, kecuali sesudah diberitahu oleh Kyai Hamid yang merupakan Kyai Sepuh di Kota Pasuruan.

Setelah lebih kurang 10 tahun mukim dan menimba berbagai ilmu agama di Mekkah, Guru Bangil kemudian kembali ke Martapura (Kampung Melayu Ilir) pada tahun 1941 serta mengabdikan ilmu yang telah didapat untuk masyarakat luas. Namun setelah kurang lebih berdiam selama 5 tahun di Martapura, Guru Bangil kemudian pindah ke Kota Bangil pada tahun 1946 menyusul keluarganya yang telah terlebih dahulu berdiam di sana.
Di Kota Bangil inilah, Guru Bangil dikawinkan dengan Hj. Bintang binti H. Abd. Aziz ketika berusia lebih dari 30 tahun. Hj. Bintang masih terhitung dan memiliki hubungan keluarga dengan beliau, karena Hj. Bintang adalah anak paman beliau, yang berarti saudara sepupu. Dari perkawinannya dengan Hj. Bintang binti H. Abd. Aziz ini, Guru Bangil mendapatkan beberapa orang anak, di antaranya: K.H. Kasyful Anwar, Zarkoni, Abd. Basit, Malihah, dan Khalwani.
Setelah isteri beliau yang pertama (Hj. Bintang) meninggal dunia, beliau kemudian kawin lagi dengan Hj. Gusti Maimunah dan dari perkawinannya dengan Hj. Gusti Maimunah ini beliau mendapatlan beberapa orang anak lagi, di antaranya adalah Hj. Imil, Noval, Didi, Yuyun, dan Mahdi
Isteri beliau yang ketiga adalah Hj. Fauziah. Dari perkawinan dengan Hj. Fauziah ini, beliau mendapatkan beberapa orang anak pula, di antaranya adalah M. Rusydi, Abd. Haris, dan Busra.[22] Menurut keterangan Ustadz H. Mulkani jumlah anak beliau keseluruhan adalah 28 orang.[23]
H. Kasyful Anwar, anak Guru Bangil yang tertua adalah generasi penerus dalam melaksanakan aktivitas pendidikan dan dakwah serta pengelolaan Pondok Pesantren Datu Kalampayan di Kota Bangil hingga sekarang ini. Di samping itu beliau juga tercatat sebagai seorang dosen tetap pada Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Setelah lebih kurang 10 tahun mukim dan menimba berbagai ilmu agama di Mekkah, Guru Bangil kemudian kembali ke Martapura (Kampung Melayu Ilir) pada tahun 1941 serta mengabdikan ilmu yang telah didapat untuk masyarakat luas. Namun setelah kurang lebih berdiam selama 5 tahun di Martapura, Guru Bangil kemudian pindah ke Kota Bangil pada tahun 1946 menyusul keluarga yang telah terlebih dahulu berdiam di sana.
Sebelum beliau bepergian ke Bangil (dalam tahun 1945/1946), beliau sempat mengajar di Madrasah Al-Istiqamah Dalam Pagar Martapura,[25] namun pengabdian Guru Bangil di Madrasah Al-Istiqamah Dalam Pagar ini tidak lama, karena pada tahun 1946 beliau kemudian pindah dan hijrah ke Bangil, menyusul keluarga yang telah lama berdiam di sana.
Setelah beberapa tahun berdiam di kota Bangil, Guru Bangil mulai mengajar dan mengabdikan ilmunya secara luas kepada masyarakat setelah mendapatkan restu dari Kyai Hamid Pasuruan yang merupakan ulama Sepuh pada waktu itu.[26] Di samping muthala’ah dan membuka pengajian, Guru Bangil juga mendirikan pondok pesantren untuk ‘kaji duduk’ ilmu-ilmu agama yang diberi nama Pondok Pesantren “Datuk Kalampayan” pada tahun 1970. Santri-santrinya kebanyakan berasal dari Kalimantan, terutama dari Kalimantan Selatan.[27]
Pondok Pesantren tersebut langsung ditangani sendiri oleh Guru Bangil. Beliau juga aktif dan tanpa kenal lelah mengajarkan ilmu kepada para santri, sekalipun dalam keadaan sakit. Malam hari pun diisi dengan berbagai kegiatan amaliyah, halaqah, dan muthala’ah. Sehingga, banyak para santri beliau yang kemudian menjadi orang alim dan tersebar diberbagai daerah, baik di Kalimantan, Jawa, Sumatera, dan lain-lain untuk meneruskan perjuangan Islam. Di antara santri/murid-murid beliau tersebut adalah:
1. ’Alimul ‘Allamah Tuan Guru H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani Sekumpul Martapura, Pendiri Majelis Taklim Ar-Raudhah Sekumpul.
2. K.H. Prof. Dr. Ahmad Sjarwani Zuhri, Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Balikpapan.
3. K.H. Muhammad Syukri Unus, Pimpinan Majelis Taklim Sabilal Anwar al-Mubarak, Martapura.
4. K.H. Zaini Tarsyid, Pengasuh Majelis Taklim Salafus Shaleh Tunggul Irang Seberang, Martapura (selain sebagai murid, K.H. Zaini Tarsyid juga merupakan anak menantu Guru Bangil).
5. K.H. Ibrahim bin K.H. Muhammad Aini (Guru Ayan), Rantau.
6. K.H. Ahmad Bakri (Guru Bakri), Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mursyidul Amin, Gambut.
7. K.H. Asmuni (Guru Danau), Pengasuh Pondok Pesantren Darul Aman, Danau Panggang, Amuntai.
8. K.H. Sayfi’i Luqman, Tulungagung (Jawa Timur).
9. K.H. Abrar Dahlan, Pimpinan Pondok Pesantren di Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.
10. K.H. Muhammad Safwan Zahri, Pimpinan Pondok Pesantren Sabilut Taqwa, Handil 6, Muara Jawa, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Waktu beliau banyak dihabiskan untuk mengajar, muthala’ah, dan ibadah. Sewaktu berdiam di Martapura, sekembali dari Kota Mekkah al-Mukarramah, Guru Bangil pernah ditawari untuk menduduki jabatan Qadhi di Martapura, namun jabatan tersebut beliau tolak. Beliau lebih senang berkhidmat secara mandiri dalam dunia pendidikan, dakwah, dan syiar Islam, di mana, muthala’ah, halaqah dakwah, ta’lim (mengajar), dan menulis (menghimpun) risalah menjadi aktivitas rutin beliau sehari-hari.
Dalam mengajar Guru Bangil biasanya tidak panjang lebar menjabarkan dan menjelaskan suatu permasalahan, beliau hanya menyampaikan apa yang ada dalam kitab dan telah dibahas secara panjang lebar oleh ulama penulis kitab. Sehingga, ketika ada yang bertanya atau mengajukan suatu permasalahan, beliau menjawabnya tidak dengan pendapatnya sendiri, tetapi beliau tunjukkan dan mengutip dari pendapat para ulama dengan menyebutkan kitab-kitabnya.
Guru Bangil juga aktif menulis berbagai risalah agama berupa pelajaran dan pedoman praktis dalam memantapkan keyakinan dan amaliah beragama masyarakat. Satu di antara risalah beliau yang sangat terkenal, dicetak, dan beredar secara luas di tengah-tengah masyarakat adalah buku yang berjudul Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah. Risalah ini berisi pembahasan tentang masalah talqin, tahlil, dan tawassul.
Guru Bangil tidak mau karya tulis beliau diperjual-belikan, itulah sebabnya beberapa risalah yang beliau himpun hanya ditulis dan beredar secara terbatas, karena tidak dicetak. Buku Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah yang tersebar secara luas itupun beliau izinkan untuk dicetak atas amal jariyah seorang donator, sehingga dibagikan secara gratis kepada masyarakat.
Menurut santri-santrinya, Guru Bangil adalah sosok seorang guru yang bisa memahami dengan baik kemampuan, karakter dan bakat santri-santrinya. Sehingga mereka merasa dididik sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
Di samping menguasai ilmu pengetahuan agama yang dalam, Guru Bangil juga mempunyai keahlian ilmu bela diri (silat). Keahlian dalam ilmu bela diri ini juga Beliau ajarkan kepada santri-santrinya sebagai bekal bagi mereka untuk berdakwah melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Salah seorang santri beliau yang mewarisi dengan baik ilmu bela diri ini adalah (alm.) Guru Masdar Balikpapan.[28]
Sebagai seorang ulama, beliau mampu memberikan solusi dan sekaligus memecahkan masalah di masyarakat beliau. Hal ini terbukti ketika masyarakat hendak memperluas bangunan masjid di Kota Bangil yang tidak mencukupi lagi untuk menampung jamaah. Sementara, ada kendala atau permasalahan yang membuat ulama-ulama dan tokoh masyarakat Bangil pada waktu itu bingung mencari solusinya, karena areal tanah yang hendak dijadikan perluasan masjid terdapat kuburan. Maka, masyarakat pun akhirnya mereka meminta pendapat dan pemikiran Guru Bangil berkenaan dengan masalah tersebut, apakah masjid bisa diperluas walaupun di atas tanah bekas kuburan atau bagaimana? Dengan berpedoman kepada pendapat para ulama terdahulu Guru Bangil membolehkan. Sehingga, berdasarkan pendapat Guru Bangil, masalah tersebut akhirnya dapat terpecahkan, sehingga perluasan pembangunan masjid Bangil pun dapat diteruskan.[29]
Dalam masalah kehidupan Guru Bangil dikenal sebagai seorang ulama yang sangat zuhud. Beliau pernah diberi hadiah mobil dan rumah mewah, tetapi semua itu ditolak beliau. Sampai meninggal dunia beliau tidak meninggalkan harta kepada anak cucu beliau. Beliau sangat hati-hati dalam hal-hal keduniawian.[30]
Guru Bangil tidak mau ikut-ikutan atau terjun ke dunia politik. Itulah sebabnya beliau mau masuk dan menjadi anggota partai politik walaupun banyak yang mengajak. Guru Bangil pernah menjadi salah seorang Muhtasyar Nahdlatul Ulama (NU) Kota Bangil, namun ketika NU telah menegaskan arah dan tujuan organisasinya untuk khittah (kembali) ke dasar organisasi ketika organisasi ini didirikan (pada tahun 1926) dan tidak lagi sebagai partai politik.[31]
Menurut Ustadz Subki, Guru Bangil alim dan menguasai secara mendalam 14 cabang ilmu (fan) dari ilmu-ilmu agama. Ilmu-ilmu yang beliau kuasai tersebut terutama bidang fikih, hadits, ilmu hadits, ulumul Qur’an, tafsir, dan tasawuf.[32]
Dalam usia muda (di bawah 40 tahun) Guru Bangil banyak menggeluti ilmu fikih, tetapi pada usia 40 tahun ke atas beliau banyak bergelut di bidang tasawuf. Tasawuf yang banyak beliau pelajari adalah tasawuf Al-Ghazali.[33]
Dalam bidang hadits, beliau sangat hati-hati dalam menggunakan sebuah hadits sebagai dalil, dilihat dulu bagaimana keshahihan hadits tersebut. Begitu juga dalam menyampaikan suatu hadits, beliau sangat hati-hati dan penuh adab. Beliau tidak setuju kalau pidato di lapangan terbuka dengan membacakan atau menggunakan ayat Alquran maupun hadits, padahal tidak tepat dengan konteksnya.[34]
Dalam bidang fikih Guru Bangil juga sangat alim. Kealiman Beliau dalam bidang fikih ini diakui oleh Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif. Sehingga, ketika ada orang yang bertanya masalah fikih kepada Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif, beliau menyuruh orang tersebut untuk menanyakannya langsung kepada Guru Bangil. Guru Bangil pernah memperdalam fikih dengan Syekh Ahyat al-Bogori.[35]
Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah (Simpanan Berharga, Masalah Talqin, tahlil dan Tawassul) adalah salah satu karya tulis Guru Bangil yang paling populer, karena pembahasan yang ada di dalamnya. Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1967 dan telah dicetak serta diterbitkan secara berulang kali oleh penerbit. Buku ini tersebar luas di tengah-tengah masyarakat Islam diberbagai daerah dan dicetak atas biaya dari para donator, sehingga dibagikan secara gratis kepada masyarakat luas. Karena, Guru Bangil tidak mau karya beliau ini diperjual belikan. Buku ini juga pernah berhenti dicetak karena ada oknum yang memperjualbelikannya untuk mengambil keuntungan pribadi.
Buku yang berjudul Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah ini ditulis oleh Guru Bangil atas permintaan masyarakat Bangil karena adanya pernyataan-pernyataan dari tokoh-tokoh muda pemikir agama yang kontradiktif dengan pemahaman keagamaan masyarakat pada waktu itu, dan sering menganggap mudah (remeh) urusan agama, sehingga menimbulkan pertanyaan dan perbedaan pendapat di kalangan masyarakat. Hal ini terlihat di dalam tulisan beliau yang tertera di bagian penutup buku tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, Tuan Guru H. Muhammad Sjarwani Abdan yang dikenal luas oleh masyarakat Banjar dan Bangil khususnya sebagai seorang ulama yang memberikan sumbangsih besar terhadap pembangunan mental spiritual umat melalui keilmuan dan kiprah keagamaan selama beliau hidup. Aktivitas beliau yang tidak jauh dari rutinitas ibadah, muthala’ah, halaqah, dakwah, ta’lim, dan menulis risalah bimbingan keagamaan untuk masyarakat serta mendirikan Pondok Pesantren Datuk Kalampayan di Bangil memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kegiatan amal ibadahn dan keagamaan masyarakat.
Berkenaan dengan hadits, beliau sangat hati-hati dalam menggunakan sebuah hadits sebagai dalil, dilihat dulu bagaimana keshahihan hadits tersebut. Begitu juga dalam menyampaikan hadits, beliau sangat hati-hati dan penuh adab. Dalam bidang fikih Guru Bangil juga sangat alim. Kealiman Beliau dalam bidang fikih ini diakui oleh ‘Alimul ;Allamah Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif. Ketika ada orang yang bertanya masalah fikih kepada Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif, maka beliau menyuruh orang itu untuk menanyakannya kepada Guru Bangil. Dalam masalah kehidupan Guru Bangil dikenal sebagai seorang ulama yang sangat zuhud. Beliau pernah diberi hadiah mobil dan rumah mewah, tetapi semua itu ditolak beliau. Sampai meninggal dunia beliau tidak mewariskan harta kepada anak cucu beliau.
Al- Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah (Simpanan Berharga, Masalah Talqin, tahlil dan Tawassul) adalah salah satu karya tulis Guru Bangil yang paling populer. Buku ini ditulis beliau atas permintaan masyarakat Bangil karena adanya pernyataan-pernyataan para pemikir muda yang kontradiktif (berlawanan) dengan pemahaman keagamaan masyarakat pada waktu. Menurut beliau, talqin, bacaan, doa dan sedekah untuk mayit serta tawassul diperbolehkan dan tidak bertentangan dengan syariat Islam asalkan sesuai dengan kaedah yang dicontohkan oleh ulama.http://jaybanjarie.wordpress.com


Unknown
Al'Alimul 'Allamah Al'Arif Billah As-Syekh H.Muhammad Zaini Abdul Ghani Bin Al'Arif Billah Abdul Ghani Bin H.Abdul Manaf Bin Muhammad Seman Bin H.Muhammad Sa'ad Bin H.Abdullah Bin Al'Alimul 'Allamah Mufti Khalid Bin Al'Alimul 'Allamah Khalifah H.Hasanuddin Bin Maulana Syekh H.Muhammad Arsyad Al-Banjari.
Beliau dilahirkan pada malam rabu 27 Muharram 1361 H (11 Februari 1942 M) di kampung Tunggul Irang Seberang Martapura.
Selama di Tunggul Irang beliau tidak menyusu dengan ibu,hanya menghisap liur Al'Arif Billah H.Abdurrahman atau H.Adu sampai kenyang selama 40 hari.
Nama selagi kecil adalah Qusyairi,sejak kecil termasuk salah seorang yang mahfuzh yaitu suatu keadaan yang sangat jarang terjadi kecuali bagi orang-orang pilihan yang sudah di tentukan Allah SWT.Beliau adalah salah seorang anak yang mempunyai sifat-sifat dan pembawaan yang lain dari yang lain,diantaranya adalah beliau tidak pernah ihtilam.
Al'Alimul 'Allamah Al'Arif Billah As-Syekh H.Muhammad Zaini Abdul Ghani sejak kecil selalu berada di samping kedua orang tua dan nenek beliau yang bernama Salbiyah,yang memelihara beliau dengan penuh kasih sayang namun disiplin dalam pendidikan,sehingga dimasa kanak-kanak beliau sudah mulai ditanamkan pendidikan Tauhid dan Akhlaq oleh ayah dan nenek beliau sendiri,serta belajar membaca Al-Qur'an.Dengan demikian guru pertama dalam bidang Tauhid dan Akhlaq adalah ayah dan nenek beliau sendiri yang selalu berada di sampingnya dan memimpinnya.
Meskipun kehidupan ekonomi kedua orang tua beliau dalam keadaan yang sangat lemah,namun mereka selalu memperhatikan untuk membantu dan meringankan beban guru yang mengajar anak mereka membaca Al-Qur'an,sehingga setiap malam beliau di beri bekal sebotol kecil yang berisi minyak tanah untuk diberikan kepada guru Muhammad Hasan Pasayangan yang mengajar Al-Qur'an.
Dalam usia kurang lebih 7 tahun beliau sudah mulai belajar di madrasah kampung Kraton Martapura selama 2 tahun,kemudian meneruskan ke madrasah Darussalam Martapura sampai tamat dan tidak pernah sekolah SD (Sekolah Dasar).

Guru-Guru Al'Alimul 'Allamah Al'Arif Billah
As-Syekh H.Muhammad Zaini Abdul Ghani :

1.Di Tingkat Tahdhiry/Ibtida-i di Kraton :
-Guru Muhammad Zaini Umar
-Guru Abdul Muiz
2.Di Tingkat Tahdhiry/Ibtida-i di Darussalam :
-Guru Sulaiman
-Guru H.Abdul Hamid Husin
-Guru H.Mahalli Abdul Qadir
-Guru Muhammad Zein
-Guru H.Rafi'i
-Guru Syahran
3.Di Tingkat Tsanawy/'Aly Darussalam :
-Guru H.Husin Dakhlan
-Guru H.Salman Yusuf
-Al'Alimul Fadhil H.Sya'rani 'Arif
-Al'Alimul Fadhil H.Husin Qadri
-Al'Alimul Fadhil H.Salim Ma'ruf
-Al'Alimul Fadhil H.Seman Mulya
-Al'Alimul Fadhil H.Salman Abdul Jalil
4.Guru-Guru dibidang Tajwid :
-Al'Alimul Fadhil H.Sya'rani 'Arif
-Al'Alimul Fadhil Al-Qari Al-Hafizh H.Nashrun Thahir
-Al'Alimul Fadhil H.Aini Kandangan
5.Guru khusus Tasauf dan Suluk :
-Al'Alimul 'Allamah H.Muhammad Syarwani Abdan
-Al'Alimul 'Allamah Kiayi Falak Bogor
-Al'Alimul 'Allamah Al-Quthub As-Syekh As-Sayyid Muhammad Amin Al-Kutbi
6.Sanad-sanad dalam berbagai bidang Ilmu Thariqat diterima dari :
-Al'Alimul 'Allamah Al'Arif Billah Al-Quthub As-Sayyid Muhammad Amin Al-Kutbi
-Al'Alimul 'Allamah Al-Quthub As-Syekh As-Sayyid Abdul Qadir Al-Bar
-Al'Alimul 'Allamah As-Sayyid Muhammad Bin Alwy Al-Maliki
-Al'Alimul 'Allamah As-Syekh Hasan Masysyath
-Al'Alimul 'Allamah As-Syekh Muhammad Yasin Padang
-Al'Alimul 'Allamah Kyai Falak Bogor
-Al'Alimul 'Allamah As-Syekh Isma'il Yamani
7.Guru pertama secara rohani atau mimpi :
-Al'Alimul 'Allamah Ali Junaidi Berau Bin Al'Alimul Fadhil Qadhi H.Muhammad Amin Bin
Al'Alimul 'Allamah Mufti H.Jamaluddin Bin Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari
-Al-Alimul 'Allamah H.Muhammad Syarwani Abdan kemudian menyerahkan kepada Kyai Falak
yang seterusnya menyerahkan kepada Al'Alimul 'Allamah Al'Arif Billah As-Syeikhul Quthub
As-Sayyid Muhammad Amin Kutbi,kemudian beliau menyerahkan kepada Syeikh Muhammad
Arsyad Al-Banjari,yang selanjutnya langsung di pimpin oleh Rasulullah SAW.

Atas petunjuk Al'Alimul 'Allamah Ali Junaidi beliau dianjurkan untuk belajar kepada Al'Alimul Fadhil H.Muhammad (Gadung) Bin Al'Alimul Fadhil H.Salman Al-Farisi Bin Al'Alimul Fadhil Qadhi H.Mahmud Bin Asiah Binti Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari mengenai masalah "Nur Muhammad".Maka dengan demikian diantara guru beliau tentang Nur Muhammad,antara lain adalah Al'Alimul Fadhil H.Muhammad tersebut di atas.

Dalam usia lebih kurang sepuluh tahun beliau sudah mendapat khususiat dan anugerah dari Tuhan berupa Kasyaf Hissi,yaitu melihat dan mendengar apa-apa yang di dalam atau yang terdinding.

Sewaktu beliau siahah,berjalan-jalan di hutan,maka rumput-rumputan memberi salam kepada beliau dan menyebutkan manfaatnya untuk pengobatan dan sebagainya,begitu pula batu-batuan dan besi,kesemuanya ini tidaklah beliau perhatikan dan hal-hal yang demikian itu beliau anggap hanya merupakan ujian dan cobaan.

Dan kurang lebih dalam usia itu pula beliau bermimpi,tepatnya pada malam jum'at melihat sebuah kapal besar turun dari langit dan di muka kapal tersebut di depan pintu masuknya berdiri seorang laki-laki berpakaian jubah putih sebagai penjaganya,dan di pintunya tertulis "Safinatul Auliya".Tatkala beliau hendak masuk ke dalam kapal tersebut di halau oleh penjaganya hingga beliau jatuh tersungkur,beliaupun langsung terbangun.
Pada malam jum'at berikutnya beliaupun bermimpi lagi dengan mimpi yang sama.Begitu pula pula pada malam jum'at yang ke tiga beliau bermimpi lagi dengan mimpi yang serupa,namun kali ini beliau di perkenankan masuk ke dalam kapal dan disambut oleh seorang Syekh dan beliau melihat di dalamnya banyak kursi yang kosong.

Setelah puluhan tahun kemudian tepatnya sesudah beliau dewasa,beliau pergi ke tanah jawa untuk menuntut ilmu.Dengan tidak disangka dan dikira orang yang pertama kali menyambut dan menjadi guru beliau adalah orang yang menyambut beliau di kapal dalam mimpi beberapa tahun silam.

Dalam usia kurang dari empat belas tahun atau tepatnya masih duduk di kelas satu tsanawiyah beliau telah dibukakan oleh Allah SWT atau futuh tatkala membaca Tafsir :
Wakaanallahu Samii'an Basiira

Al'Alimul Allamah Al'Arif Billah As-Syekh H.Muhammad Zaini Abdul Ghani yang sejak kecilnya hidup di tengah-tengah keluarga yang shaleh dan dalam didikan kedua orang tua serta bimbingan pamanda Al'Alimul 'Allamah Al-Arif Billah As-Syekh H.Seman Mulya betul-betul sangat tertanam dan terhunjam dalam lubuk hati beliau sehingga sifat-sifat mulia,sabar,ridha dan kitmanul masha-ib (menyembunyikan kesusahan),kasih sayang dan tidak pemarah,serta pemurah sudah tertanam dan tumbuh subur di jiwa beliau,sehingga apapun yang terjadi terhadap diri beliau tidak pernah mengeluh dan mengadu kepada orang tua,sekalipun beliau pernah dipukuli oleh orang-orang yang hasud dan dengki kepadanya.

Beliau adalah seorang yang sangat mencintai para ulama dan orang-orang shaleh,hal itu tampak ketika beliau masih kecil dimana beliau selalu menunggu di tempat yang biasanya 'Alimul Fadhil H.Zainal Ilmi Dalampagar,lewati pada hari-hari tertentu ketika hendak pergi ke Banjarmasin,semata-mata hendak bersalaman dan mencium tangan Tuan Guru H.Zainal Ilmi.

Dimasa remaja itu pula Al'Alimul 'Allamah Al'Arif Billah As-Syekh H.Muhammad Zaini Abdul Ghani pernah ru'yah bertemu dengan Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husin yang keduanya masing-masing membawakan pakaian dan memakaikan (memasangkan) kepada beliau lengkap dengan sorban dan lainnya,dan beliau ketika itu diberi nama oleh keduanya dengan nama "Zainal 'Abidin".

Keberadaan Al'Alimul 'Allamah Al'Arif Billah As-Syekh H.Muhammad Zaini Abdul Ghani dimasa kecil beliau rupanya sudah di ketahui oleh sebagian ulama dan orang pintar di Jawa,meskipun mereka belum pernah ke Banjar,begitu pula 'Alimul 'Allamah belum pernah pula ke Jawa atau bertemu mereka.

Karena itu kebesaran dan kemuliaan Al'Alimul 'Allamah Al'Arif Billah As-Syekh H.Muhammad Zaini Ghani sudah menjadi pembicaraan oleh para tokoh ulama di Jawa pada masa beliau masih kecil,dimana penulis pernah mendengar dari mereka : "Bahwa di Banjar (di Martapura) akan muncul seorang ulama besar dan orangnya masih kecil atau kanak-kanak".Sehingga banyaklah orang menerka atau mengira-ngira namun kenyataannya baru tampak sesudah puluhan tahun kemudian.

Setelah lebih dari sepuluh tahun dalam penantian,siapa gerangan orang yang dimaksud,maka secara kebetulan atau memang ditugaskan untuk menyampaikannya,maka datanglah seorang Waliyullah ke Martapura dan menginap di rumah salah seorang ulama di Martapura.Maka menurut cerita seorang sahabat penulis yang kebetulan ia berkunjung ke rumah dimana Waliyullah tersebut menginap,dan dilihatnya banyak tamu yang datang ke rumah tersebut,diantaranya adalah Al'Alimul 'Allamah Al'Arif Billah As-Syekh H.Muhammad Zaini Ghani.Di dalam majelis itulah Waliyullah tersebut mengatakan kepada salah seorang tamu yang baru datang dan hendak bersalaman dengan beliau (Waliyullah itu) dan beliau menyuruh bersalaman dengan Al'Alimul 'Allamah Al'Arif Billah As-Syekh H.Muhammad Zaini Ghani lebih dahulu baru kepada beliau (Waliyullah tersebut) sambil berkata : "Bersalaman dengan Guru Zaini dahulu,ia masih kecil namun ia sudah Quthub".Demikianlah kata Waliyullah tersebut.

Sesudah dewasa maka tampaklah kebesaran dan keutamaan beliau dalam berbagai hal dan banyaklah orang yang datang belajar dengan beliau,para haba-ib yang tua-tua,para ulama dan guru-guru yang pernah mengajar beliau,karena mereka mengetahui keadaan beliau yang sebenarnya,mereka sangat sayang serta hormat kepada beliau.

Al'Alimul 'Allamah Al'Arif Billah As-Syekh H.Muhammad Zaini Abdul Ghani adalah seorang ulama yang menghimpun antara Syari'at,Thariqat dan Haqiqat.Dan seorang yang hafazh Al-Qur'an dan Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhiem Lil-Imamaini Al-Jalalaini,yakni Tafsir Jalalain.

Al'Alimul 'Allamah Al;Arif Billah As-Syekh H.Muhammad Zaini Abdul Ghani yang sejak kecil selalu berada di samping orang tua beliau yang shaleh dan shalehah,banyak mendapat pendidikan dan pelajaran dari keduanya meskipun diantaranya hanya melalui contoh dan isyarat,yang kesemuanya itu tertanam dan tumbuh subur di jiwa beliau.

Pendidikan yang diterima Al'Alimul 'Allamah Al'Arif Billah As-Syekh H.Muhammad Zaini Abdul Ghani melalui Pamanda beliau yaitu Al'Alimul 'Allamah Al'Arif Billah As-Syekh H.Seman Mulya sangat mewarnai pemikiran-pemikiran beliau terutama dalam bidang Ilmu Tasauf.
Al'Alimul 'Allamah Al'Arif Billah As-Syekh H.Seman Mulya secara intensif mendidik beliau baik ketika berada di sekolah maupun diluar sekolah,meskipun beliau hampir tidak pernah mengajar secara langsung bidang-bidang keilmuan itu kepada beliau kecuali di bangku sekolah,namun Al'Alimul 'Allamah Al'Arif Billah As-Syekh H.Seman Mulya langsung membawa dan mengantarkan beliau mendatangi guru-guru atau tokoh-tokoh ulama terkenal dengan keahliannya masing-masing baik di Kalimantan Selatan,maupun di Jawa untuk belajar,seperti misalnya untuk mendalami Ilmu Tafsir dan Hadits beliau bawa Al'Alimul 'Allamah Al'Arif Billah As-Syekh H.Muhammad Zaini Ghani kepada Al'Alimul 'Allamah As-Syekh H.Sya'rani 'Arif yang terkenal sebagai ahli Tafsir dan ahli Hadits,sekalipun Al'Alimul 'Allamah Al'Arif Billah As-Syekh H.Seman Mulya tersebut sebagai pakar disemua bidang keilmuan Islam.Maka sifat-sifat rendah hati atau sifat tawadhu' Al-Alimul 'Allamah Al'Arif Billah As-Syekh H.Seman Mulya inilah yang tertanam di jiwa Al'Alimul 'Allamah Al'Arif Billah As-Syekh H.Muhammad Zaini Abdul Ghani.

Al'Alimul 'Allamah Al'Arif Billah As-Syekh H.Muhammad Zaini Abdul Ghani seorang yang sangat bakti kepada kedua orang tua dan Pamanda beliau,sehingga sewaktu ayah beliau sakit satu jam pun tidak pernah beliau memisahinya dan selalu berada disamping beliau merawat dan menjaganya dengan seksama.Begitu pula ketika Pamanda beliau Al'Alimul 'Allamah Al'Arif Billah As-Syekh H.Seman Mulya sakit beliau selalu disamping.

Meskipun Al'Alimul 'Allamah Al'Arif Billah As-Syekh H.Muhammad zaini Abdul Ghani dalam keadaan sakit namun beliau tetap turut menjaga dan merawat ibu beliau ketika sakit.Hal ini menunjukkan bahwa beliau anak yang bakti kepada kedua orang tua dan Pamanda beliau Al'Alimul 'Allamah Al'Arif Billah As-Syekh H.Seman Mulya.